Ketika masih remaja, Dea Valencia Budiarto sudah menyadari keinginannya untuk berbagi ragam pola dan warna tekstil batik tulis Indonesia dengan orang lain. Saat berusia 17 tahun, dia mulai membuat gaun dari koleksi batik lawas ibunya.
Setelah memproduksi dua puluh pakaian, lahirlah Batik Kultur, merek pakaian wanita dari Semarang, Jawa Tengah.
Sejak diluncurkan pada tahun 2011, merek ini telah berkembang dengan berdirinya dua toko ditambah dengan kehadiran online yang kuat. Batik Kultur mempekerjakan 110 penjahit lokal dan memproduksi hingga 1.500 pakaian setiap bulan. Seiring meningkatnya minat pelanggan dengan koleksinya, Dea ingin menyelaraskan komunikasi eksternal mereknya dan beralih ke aplikasi WhatsApp Business untuk melakukannya.
Dea mengatakan bahwa 20 persen lalu lintas online Batik Kultur datang melalui aplikasi dan 70 persennya menghasilkan penjualan. Fitur pesan di luar jam kerja membantu tim Dea untuk tetap terhubung dengan pelanggan di luar jam kantor. Selain itu, fitur balas cepat pada aplikasi WhatsApp Business memampukan mereka untuk dapat menjawab pertanyaan umum mengenai produk Batik Kultur dengan lebih cepat dan lebih sistematis.
Perdagangan artisan seperti batik tulis semakin ditinggalkan di Indonesia. Kehadiran dunia mode modern telah mengancam keberadaannya, oleh karena proses pembuatan batik tulis yang membutuhkan waktu lama dan tidak lagi menguntungkan seperti dulu. Dea ingin membantu melestarikan tradisi nasional serta membagikan misi modenya yang maju dengan dunia. Melalui Batik Kultur — serta dengan bantuan aplikasi WhatsApp Business — dia melaksanakan perannya.